Halaman

KOTA CIREBON

Jumat, 04 Januari 2013

Cirebon


Kota tidak untuk diketahui: Cirebon
15 Desember 2012
1.      Prolog
Kota Cirebon masih menjadi hal yang asing untuk saya kenali secara dekat. Lembar kertas kosong yang ada dihadapan saya terlihat begitu bersih tanpa ada goresan pena sedikitpun. Karena saya bingung akan menuliskan apa tentang kota Cirebon. Tak ada ide dan rekaman jelas tentang kota ini. Padahal kota ini merupakan tanah kelahiran dan dibesarkannya saya hingga saat ini, tidak menjamin keakraban saya dengan kota Cirebon. Sejenak saya merenung dengan tatapan kosong ke lembar kertas. Kenapa kota ini sulit saya tuliskan dan diceritakan. Apakah sejarah kota Cirebon tak pernah dikenalkan ke masyarakat? Ataukah kebodahan saya yang tak pernah mempelajari sejarah dan kebudayaan kota ini? Atau jangan-jangan kota ini memang tak layak untuk dituliskan dan diceritakan? Terhentak dengan keras membentur nalar untuk mencari jawaban yang sebelumnya tidak pernah saya pertanyakan.
Untuk memahami atau sekedar mengetahui kota secara holistik merupakan perjalanan panjang bagi saya atau mungkin masyarakat kebanyakan untuk menuju masyarakat yang berbudaya. Entitas yang tak akan terpisahkan dari akar sejarah kota yang merekam perjalanan sejarah terbentuknya sebuah kota. Perlu kiranya membahas budaya untuk mengetahui secara utuh apa dan kenapa kota itu ada. Sedangkan saya tak begitu mengerti yang dimaksud dengan budaya yang ada di kota Cirebon. Yang saya tahu hanyalah sisa puing-puing dari kejayaan masa lampau. Itupun hanya bentuk bangunannya saja, tak mengerti asal-usulnya. Sehingga rasa hormat dan pengagungan terhadap budaya hanyalah instrumental saja. Setidaknya, agar dapat dikatakan sebagai bagian orang yang cinta budaya dan menjaga kearifan lokal. Padahal makna dan sejarah akan pengetahuan kebudayaan sangat buta dan bodoh di otak ini.
Literatur yang menerangkan kota Cirebon, tak mudah untuk ditemui di toko-toko buku bahkan di mbah google sekalipun. Cerita angin ilir yang berhembus dari sana dan sini menjadi rujukan referensi sementara saja. Setidaknya mengobati kerinduan cerita masa lampau yang begitu jaya, lumayan untuk meneguhkan percaya diri masyarakat. Ibarat ganja untuk menenangkan masyarakat dari kegagapan budayanya sendiri.
2.      Budaya Cirebon
Untuk dapat mengelilingi kota Cirebon tak perlu merogoh kantong dalam-dalam, cukup dengan mengisi bensin kendaraan sepeda motor anda dua liter saja. Anda dapat menemui beraneka ragam isi kota ini. Baik yang terlihat seperti di iklan pariwisata maupun yang tidak. Salah satunya bangunan monumen sejarah kemerdekaan yang sudah mulai terlupakan adalah tugu proklamasi. Berada di tengah-tengah kota sebelah alun-alun, monument ini tak begitu dihiraukan oleh masyarakat. Berdiri di samping perempatan jalan, seolah menjadi bagian dari pengaturan rambu lalu lintas dan patung hiasan taman yang tak lagi terurus. Tugu diletakan pada tanggal 17-8-1945 djam 10.56 oleh toean presiden pertama. Kemerdekaan sangat dieluh-eluhkan dan cita-cita bersama masyarakat pada saat itu. Jika saja monument tugu dirawat dengan baik dan pencahayaan lampu yang baik bukan tidak mungkin akan menjadi penarik perhatian. Dan dengan itu pula akan menjadi media untuk masyarakat memberitahu bahwa monumen yang catnya sudah mengelupas merupakan bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia di kota Cirebon.
Bertempat di pulau Jawa yang kental akan keraton-keraton raja Jawa, Cirebon mempunyai empat keraton yang berdekatan dalam satu kota yang sama. Membuktikan bahwa kota ini menjadi pusat pemerintahan  dan mengukuhkan peryataan wali songo yang menyebut sebagai puser bumi. Terdapat banyak benda pusaka tersimpan dimasing-masing keraton sebagai saksi bisu perjalanan keraton masa lampau yang penuh dengan perjuangan. Tumpukan manuskrip-manuskrip tersimpan secara rapih di dalam lemari tua. Waluapun tidak semua orang dapat melihat langsung, apalagi membuka lembaran-lembaran manuskrip. Karena usia yang sudah tua dan kertas yang mulai lapuk. Maka sangat dijaga keutuhanya untuk tetap dapat diwariskan.
Upacara-upacara adat keratonan masih menjadi daya pikat masyarakat untuk mengunjungi keraton dan menyaksikan prosesi ritual adat. Salah satu dari acara yang ada setiap tahunya adalah maulid nabi. Dimana adanya pasar dadakan sebulan penuh sebelum acara ritual adat dijalankan. Ada hal menarik dari pasar dadakan ini, rata-rata pedagang yang berjualan bukanlah asli orang Cirebon melainkan dari luar daerah dan kebanyakan dari pulau Sumatera. Tak kalah dengan mall, di pasar ini, menjajajkan berbagai perlengkapan kebutuhan hidup. Dari pakaian yang model tradisional sampai model korea dengan boy dan girl band pun ada, makanan martabak, tahu dan bakso masih menjadi favorit masyarakat sebagai salah satu tujuan untuk berkunjung kepasar dadakan.
Prosesi metu jimat (mengeluarkan pusaka) dari lemari keraton yang sudah berdebu dimandikan dengan ritual yang sangat sakral. Acara inti dari sebelumnya dibuka dengan pasar dadakan satu bulan penuh ditutup dengan ritual sakral yang disebut dengan malam pelal. Ada hal lainya lagi yang cukup menarik, yaitu babad Cirebon (pembukaan lahan). Suatu pagelaran dibacakanya cerita tentang babad Cirebon dalam upaya mensosialisasikan sejarah babad Cirebon dalam bentuk acara yang lebih elegan dan tidak membosankan. Bertempat di dalam keraton dengan suasana yang khas keraton menghipnotis kita hidup dimasa lampau.
Pagelaran tari topeng menjadi entitas yang tak terpisahkan dari bagian keraton.  Tidak hanya di keraton yang ketika membuka acara-acara seremonial dengan tari topeng. Kini beberapa kegiatan lembaga negara dan masyarakat sering mnggunakan tari topeng sebagai pembuka acara dengan tari topeng. Sanggar-sanggar tari terdapat disetiap keraton untuk pusat pelatihan generasi muda. Tari dengan meliuk-liuknya tubuh seorang perempuan, penari mengikuti irama gendang, gamelan dan kenting. Berdramaturgi dengan sebuah topeng yang dikenakanya.
Suatu waktu pernah ada pegelaran yang lumayan besar dan sangat jarang ada di kota Cirebon. Bertempat di situs gua sunyaragi pagelaran kolosal Putri Ong Tien menghadirkan ragam budaya Cirebon dan negeri tirai bambu. Menunjukan kota ini ramah akan kebudayaan luar dan menjungjung toleransi, sebagaimana dengan wajah asas Bhineka Tunggal Ika. Gua sunyaragi merupakan situs peninggalan sejarah di dalam kota tepatnya di pinggir jalan pantura. Material gua yang terbuat dari batu karang dan terdapat patung-patung menjadi daya tarik pengunjung karena berbeda dengan situs gua-gua lainya. Gua yang dulunya digunakan sebagai tempat bertapa para prajurit keratonan, terlihat seram dan bulu kuduk berdiri kala senja mulai datang. Banyaknya rumput ilalang yang tumbuh secara liar akibat kurang perawatan dan pencahayaan disekitar gua tidak ada. Menjadikan situs gua ini menjadi mandeg dan tak ada pengunjung dimalam hari. Suatu waktu saya pernah bertanya kepada petugas gua Sunyaragi “ mengapa tidak ada pencahayaan yang baik disaat malam hari? Agar wisata malam juga berjalan tak kalah dengan candi Prambanan?” Petugas gua malah menjawab “nanti nilai mistis dari gua ini hilang mas !” peryataan yang   sangat menggelitik, apakah pencahayaan mepengaruhi nilai kemistisan dari gua tersebut yang sudah menjadi tujuan wisata di kota ini.
Jika kita mengunjungi sebuah kota, tentulah kita akan mencari makanan  khas daerah tersebut untuk mengganjal perut yang sudah banyak terisi angin. Di Cirebon wisata kuliner merupakan tempatnya, ada berbagai macam jenis makanan yang akan menggoncang perut ini untuk cepat lapar. Ada nasi jamblang, empal gentong dan pedesan entog sebagai penyambut anda yang berkunjung di kota Cirebon. Nasi jamblang merupakan segumpal nasi yang dibungkus dengan daun jati, menambah wangi aroma nasi dan nafsu makan. Kita dapat mengambil lima bungkus nasi bungkus atau lebih karena porsi nasi tidak terlalu banyak sedangkan dihadapkan berbagai macam lauk lebih dari 25 jenis lauk yang bebas kita pilih untuk memanjakan perut. Jika ingin makanan berkuah, ada empal gentong yang dimasak menggunakan gentong dan tungku kayu. Kuah kuning yang berisi irisan daging dan kulit sapi dengan ditaburi sambal kering, akan mengucurkan keringat dari badan anda dan menghilangkan kantuk untuk melanjutkan perjalanan.
Wisata religi pun ada di kota ini. Satu-satunya sunan diantara wali songo yang berada di Jawa barat berada di Cirebon yaitu kanjeng sunan Gunung Jati. Menjadi tujuan kebanyakan masyarakat muslim di negeri ini dan non muslim. Wisata religi tidak hanya diperuntukan untuk kalangan muslim saja, orang-orang Tiong Hoa juga banyak yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Istri dari Sunan Gunung Jati berasal dari negeri tirai bambu sana, tak aneh jika ada tempat untuk persembayangan membakar dupa di dalam makam. Sungguh sangat plural kota ini.
Sebelum beranjak kaki dari kota Cirebon, ada buah oleh-oleh yang dapat dibawa ke rumah. Buah tangan berupa batik trusmi dan kerajinan topeng Cirebon. Batik Trusmi yang mempunyai motif-motif elegan salah satunya dalah motif mega mendung yang khas dengan kota Cirebon. Tidak hanya pertokoan batik saja yang anda lihat. Namun dapat menjumpai pembuatan motif batik secara langsung. Kampung Trusmi yang mayoritas masyarakatnya pengrajin batik ini, disebut sebagai kampung batik. Anda dapat mencoba membuat batik secara langsung dengan penduduk yang ramah tamah di sini. Sepanjang jalan anda keluar dari kampung ini untuk kembali ke kota anda, ada aroma cairan malam menemani sampai keluar kampung sebagai terapi menenangkan dari uang yang sudah kempis setelah berkeliling kota Cirebon.
3.      Paradoks budaya
Berbarengan dengan banyaknya warisan budaya yang ada dikota Cirebon. Masuk dengan deras model-model modernitas agar kota ini terangkat martabatnya di tengah-tengah globalisasi. Pembangunanisme digencarkan secara ngotot dengan pewacanaan megapolitan. Bagi para corporate menjadi santapan empuk untuk bersinggah dan menelurkan anak-anak perusahaan. Karena kontruksi masyarakat yang sudah mulai konsumtif. Hotel-hotel bintang dijajahkan di pinggir jalan strategis kota. Mall-mall menjadi ka’bah trend baru yang harus diikuti, menyingkirkan pasar tradisional. Kafe-kafe mewah bertumbuhan dengan menawarkan status sosial dari pada kenikmatan menunya.
Entah hal ini harus diamini sebagai sebuah keniscayaan ataukah dijewantahkan dari paradoksnya identitas masyarakat. Bungkusan modernitas memang sangat menarik dan menjanjikan akan pragmatisme materi, jauh dari kebudayaan tradisional yang tidak menjanjikan apa-apa. Tari topeng tak lagi menarik bahkan diacuhkan yang lebih melirik gangnam style dan tari striptis yang mengairahkan birahi. Orang-orang lebih memilih makanan berkeju, mayones dan berPPN dari pada nasi jamblang yang bergaram. Agar image orang modern tetap terjaga di mata orang lain. Kini masyarakat sudah sadar akan cinta terhadap batik setelah PBB menetapkannya sebagai warisan bangsa Indonesia. Karena sangat cintanya terhadap batik, kampanye dengan memakai kaos “I LOVE BATIK” digandrungi masyarakat. Melupakan kain batiknya sendiri yang hanya digunakan pada saat kondangan dan khitanan saja.
Apakah ini kemajuan dengan alasan modernitas yang membersihkan barang-barang lapuk dimakan zaman. Sesuatu yang lama itu harus cepat dibuang dan diganti dengan yang baru. Agar kita tidak ketinggalan dan mengikuti perubahan zaman. Dipaksa menjadi pengikut dan diseret-seret akan perubahan yang sebenarnya tidak mengerti perubahan yang diubah oleh siapa dan untuk apa. Taklid buta yang sedang diajarkan di kota saya, tidak diajarkan sebagai seorang kreator yang membuat perubahan. Kalau memang sudah begini, wisata budaya hanyalah puing-puing sampah yang dirawat dan menarik untuk objek pengambilan fotografer.
Begitu kayanya kota ini akan warisan budaya. Jika kota lain hanya punya satu keraton, kota Cirebon punya empat keraton yang saling berdampingan. Punya juga tugu yang kokoh dengan cat yang mulai memudar sebagai saksi bisu kemerdekaan yang eluh-eluhkan di kota ini. Tari topeng dengan 5 tokoh khas menjadi penyambut kegemulaian liak-liuk penari yang begitu menghayati akan ketransedenan. Situs gua sunyaragi yang masih gagah berdiri dengan kuat dengan kegarangan batu karangnya dari kurangnya perhatian. Kesakralan akan tokoh Sunan Gunung jati menjadi ikon religi dari wajah kota ini. Motif batik yang penuh dengan nilai filosofi masih tetap dituliskan dengan canting secara telaten dengan warna yang sedikit memudar. Makanan khas masih tetap di masak dan dijajakan  walaupun berhadapan dengan restoran-restoran mewah dengan gaya luar negeri.

4.      Epilog
Untuk memahami budaya memang tidak mudah dari jejak yang ditinggalkan hanya sisa-sisa puing tak utuh. Hanya dapat menerka-nerka asal-usul sejarahnya. Menelantarkan budaya tak utuh bukanlah sikap yang arif, bagaimana cara kita untuk menjaga dan merawat sisa yang ada agar tidak menjadi penggalan cerita sejarah. Sapaan modernitas di tengah masyarakat sangatlah menggoda seperti perempuan berpakaian sexy nan montok melambai memanggil kita untuk mendekat dan menyuruh melepaskan baju kita. Memang tidak ada yang salah untuk memilih hal modernitas karena kita tahu kebebasan untuk memilih adalah hak individu. Mempersilahkan individu untuk memilih budaya modern yang menggilas budaya tradisional atau merawat budaya tradisional yang gagah dalam menatap modernitas.
Pertanyaan-pertanyaan yang saya cari jawabanya untuk menuliskan diselembar kertas mengenai kota Cirebon. Budaya bukanlah hasil dari manusia namun proses yang terus menerus tanpa henti. Saya mulai menuliskan apa yang ditangkap mengenai kota ini secara bebas tanpa intervensi dan dominasi dari manapun. Agar saya bercerita dengan jujur apa yang ada dan sedang terjadi di Cirebon untuk dikabarkan keluar sana. Karya merupakan proses dari budaya yang harus dilakukan untuk setidaknya penyambung lidah dimasa akan datang dari manuskrip yang sudah hilang dari lemari-lemari di jual keluar negeri. Kota Cirebon tak perlu diketahui secara utuh dan lengkap karena menguras energi dari mandegnya karya. Karena ketika tahu kita akan nyaman atau malah kecewa dengan kota ini. Sebaliknya kita menilik sebentar dan berkarya untuk membuat sejarah baru yang berkisambungan. Kertas kosong bersih pun harus digoreskan dengan pena dari tangan kita.

Rintihan Pantura


Rintihan Pantura

Ringkasan;
Budaya merupakan harta kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Tumbuh berkembangnya bangsa ini, tidak terlepas dari budaya yang membentuk karakter bangsa. Arus modernitas melintas tepat di garis khatulistiwa bangsa, menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadap kebudayaan sendiri. Mencoba merangkai Indonesia lewat puzzle kecil bernama kota Cirebon. Kota yang punya empat keraton, tak membuat nuansa erotis sensual kentara. Permasalahan ekonomi yang menjepit pewaris kebudayaan, melakukan penyelewengan dengan menjual warisan kebudayaan. Sapaan modernitas sudah terdengar oleh bangsa ini. Menggiring pada bentuk masyarakat konsumtif dan ada paradoks dari kebudayaan. Teks sudah diganti dengan praksis, bentuk asli dirubah menjadi imitasi, nilai guna diganti dengan nilai liyan : prestice,status. Ini realita yang penulis temukan di kota Cirebon. Budaya sedang kebingungan di persimpangan jalan. Harus segera menentukan arah kemana budaya akan dibawa. Penyusunan strategi dan langkah konkret merupakan keniscayaan bagi penempatan posisi kebudayaan. Berangkat dari daerah, mengalisis sampai bertindak secara nyata untuk memperjelas rupa budaya. Dan dipersembahkan untuk Indonesia  yang berbudaya luhur dalam menciptakan karakter bangsa.







Perbincangan mengenai Indonesia tidak akan lepas dari atmosfer kebudayaan yang menyelimutinya. Budaya menjadi sebuah cerita indah dan panjang tak membosankan, melebihi dari apa yang ada dalam cerita negeri dongeng. Beberapa tahun ini, budaya menjadi barang langka untuk disaksikan di dunia nyata. Seolah cerita panjang tentang kebudayaan menjadi riwayat akhir sebuah perjalanan selama ini, menjelma negeri dongeng tersendiri—penuh keilusian untuk ditarik ke dunia nyata. Sapaan modernitas merasupi bangsa Indonesia sehingga tak sadar akan warna bajunya sendiri. Bila memang demikian, Indonesia bukan lagi sebuah bangsa yang kaya akan budaya tapi bangsa yang kaya akan “cerita budaya”.
            Berangkat dari rangkaian Indonesia yang begitu kompleks, saya mencoba merangkai puzzle kecil dari Indonesia yaitu kota Cirebon. Kota persinggahan lintas pantura ini, mempunyai segudang kebudayaan—lengkap dengan keperihatinannya. Ada empat keraton yang berada di tengah kota Cirebon, yang seharusnya kental dengan aura keerotisan kebudayaan. Justru nuansa kebudayaan terasa mampat dan monoton. Tuan rumah dari tari topeng, sintren, batik, tembang pantura dan naskah kuno kini terselip ditumpukan bata gapura keraton. Kesulitan untuk meraba keberadaanya sekarang. Fakta mencuat ke permukaan minggu ini di harian kabar Cirebon, maraknya penjualan naskah kuno Cirebon ke luar negeri. Untuk merestorasi kertas naskah kuno menjadi lembaran uang kartal. Perhatian pemerintah tak begitu melirik untuk menjaga naskah kuno, malah lebih memilih jilidan proposal siluman dari pengintaian media.
            Permasalahan ekonomi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan. Terlihat dari rentetan peristiwa, tradisi ditumbalkan untuk sesajen pemberhalaan uang. Di sisi lain, ada bentuk yang lebih halus namun menikam yaitu penjajahan budaya dilakukan oleh kita sendiri tanpa disadari mengamini sebagai suatu keniscayaan. Penyingkiran budaya dilakukan secara massal dengan merayakan pencitraan dalam menciptakan masyarakat konsumtif. Dimana kebudayaan direduksi dari bentuk asli ke bentuk imitasi, dari teks ke simbolik. Budaya tradisonal menghadapi tantangan industri kebudayaan yang begitu besar.
            Era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan. Pemuda yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan keberlangsungan dan eksistensi budaya tersebut. Telah ternarik peran pemuda ke dalam poros arus modernitas. Percepatan dan pemadatan rupa kehidupan, dilipat-lipat sampai tidak bisa dilipat dan tidak memperlihatkan wujud asli dari apa yang dilipat. Apa yang disebut sebagai deru mesin kapitalisme mutakhir yaitu differensiasi. Pembedaan-pembedaan telah diproduksi secara massal untuk membangun identitas dan gaya hidup. Konsumerisme dilepas secara bebas dengan melabelkan yang other terhadap produknya.
            Kini kemodernan merupakan kiblat baru bagi masyarakat yang ingin mencicipi perubahan. Ada banyak pembangunan hypermart, diskotik, café, hotel diamini sebagai gairah kemajuan suatu daerah. Pembungkusan menarik yang ditawarkan dengan menonjolkan hal liyan dari apa yang disuguhkan. Gaya hidup dan life style membangun bangunan kokoh segitiga kasta. Dari sebuah sabda iklan oleh sang produser yang menjelma Tuhan dan mewajibkan untuk mengimaninya. Pemuda lebih mengikuti apa yang sekarang menjadi trend, dengan siklus pergantian dan tempo yang cepat, seolah mewajibkan diri untuk segera update. Tak ada pendirian kukuh hanya untuk mendapatkan apa yang dikatakan Heiddeger sebagai sublasi (pemberian pengakuan). Model kehidupan yang mengalir mengikuti arus bukan mengalir pada alur.
Terlihat begitu kentara di kota Cirebon sebagai persinggahan supir pencinta tembang pantura. Ada kelucuan orientasi pemuda yang mengkiblatkan pada titik gerbang rujukan, yaitu Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kalau boleh kita sebut tiga kota tersebut sudah terbingkai sebagai: pragmatis, hedonis dan tradisionalis. Ditarik dengan menelan mentah-mentah apa yang sedang menjadi trend di kota tersebut. Berpengaruh besar dalam sosio-kultural kota Cirebon, khususnya para pemuja yang kehilangan orientasi asal. Dengan dalih membentuk Cirebon, tapi tak melihat bentuk yang sudah ada yang dimiliki Cirebon sendiri. Tidak adanya pijakan dari tanah sendiri, akultarasi lintas budaya ini hanya akan menciptakan formalism disoriented.
Mengambil bentuk dari pada etos dalam melihat budaya lain, akan menimbulkan pengagung permukaan tanpa kedalaman. Terkecoh dengan kutang perempuan dari isi yang kurang padat. Gaya hidup sudah seperti rukun dalam menjalani kehidupan dari sabda iklan Tuhan. Ketika praktik kebudayaan secara sosial dicumbu sebagai bagian dari gaya hidup. Menggiring pada bentuk paradoks antara yang inti dan luar, filosofis dan praksis. Masuk dalam bingkai nihilism, terperangkap kesubjektifan palsu melalui dunia citra.
            Ada kerancuan representasi dari sebuah apresiasi terhadap budaya. dengan dalih ingin membudayakan apa yang dimiliki oleh kulturnya. Dengan memakai kaos bertuliskan “I love Cirebon”, “I love batik” dan lainya, seolah-olah dengan memakai itu sudah merepresentasikan masyarakat berbudaya. Gimana tidak keliru, cinta batik kok pakai kaos? Kenapa tidak dengan memakai batiknya saja. mungkin ini yang dinamakan sebuah simulasi oleh Jean Baudrillard, simbol mendahului dari apa yang disimbolkan.
            Berbicara bahasa jawa Cirebon jarang ditemui di tempat-tempat umum. Ada keminderan yang mendera di masyarakat. Jika berbicara bahasa jawa berkonotasi orang desa dan katro, lebih suka memakai bahasa Indonesia ala Jakarta. Apalagi musik tarling pantura, hampir tidak ada pemuda yang menyanyikannya. Lebih menggauli musik Mtv dan boy band berbehel dan pamer BB. Tak ada café menggelar live musik pantura, cuma ditemukan di acara nikahan atau pesta rakyat. Bahkan sampai di kampus sekelas negeri pun tidak ada. katanya sih, mengumbar nafsu, padahal kita tahu pejabat kampus pun nafsu akreditasi toh. Tersubordinasinya kultur Cirebon menempatkan titik terbawah dari garis vertikal status sosial.
            Membentuk sebuah oposisi biner antara tradisional dan modern. Tradisional yang bersifat tua, kuno, Statis, lambat dan modern yang bersifat muda, baru, dinamis, cepat. Sudah menghegemoni dikalangan pemuda, tradisi terlihat sebagai wabah virus lepra yang melumpuhkan dan lebih mengambil bentuk kemodernan sebagai vitamin perubahan. Anak muda terjangkiti “kepikunan dini” atas dirinya sendiri yaitu tradisi asal sebagai identitas otentik.
            Perlu adanya kesadaraan dan pengakuan bahwa kebudayaan kita sekarang sedang kebingungan di persimpangan jalan. Harus sigap dan cepat menentukan arah kemana akan dibawanya budaya ini. Tindakan perubahan dengan wacana yang mengawang-awang di langit harus ditarik ke bumi untuk tindakan yang konkret. Mendirikan dan menjalankan pusat-pusat kebudayaan di daerah perlu diadakan untuk mengkat kebudayaan lokal. Indonesia tidaklah berarti tanpa adanya budaya yang berada di daerah-daerah. Menjadi Indonesia bukanlah memuja Indonesia. Namun, bertindak mengangkat daerah untuk dipersembahkan kepada Indonesia.
            Strategi pemerintah pun penting dalam menyusun strategi kebudayaan untuk memunculkan kearifan lokal yang masih terselip dalam taradisi dan untuk meminimalisir penyelewengan budaya seperti penjualan naskah kuno. Mengubah karakter masyarakat yang konsumtif menjadi produktif, peniru menjadi pencipta, pengikut menjadi kreator. Perlu ditanamkan secara dini dan aplikatif di lingkungan sekolah. Agar pembagunan karakter yang diharapkan bisa terwujud ketika tulisan ini lapuk.
            Kebudayaan tradisional tidaklah asketis dan konservatif terhadap dunia modern dan tidak juga mendistorsi kebaruan secara binal. Namun menempatkan pada satu tatanan yang menjadi akar untuk menumbuhkan karya baru sehingga dapat berdiri tegak dari terpaan angin kumbang. Turut ambil aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, bukan menjadi mayoritas yang diam dikuasi oleh segelintir elite.
Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa revitalisasi kebudayaan bukan sekedar menggali puing-puing tradisi untuk diagung-agungkan semata, melainkan kearifan lokal yang tersimpan dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerahan dalam mengubah karakter masyarakat konsumtif. Menjadi Indonesia yang berbudaya tidaklah mustahil dan bukan angan-angan yang terlalu muluk. Karena memang bangsa ini sudah mempunyai riwayat sejarah budaya nyata. Kita tinggal meneruskan dan mengolahnya dalam mengahadapi budaya modern. Pada umur Indonesia ke 100 tahun akan menjadi kiblat dari cerminan dunia. 

Tukang Kebun


Tukang kebun tak punya kebun
 “Makna pribumi tak lagi  berarti dengan suguhan mie instan”
25 november 2012

            Haerudin sebagai tukang kebun di Wisma Tempo Sirnagalih. Menggantikan tukang kebun sebelumnya pak Eman sekitar 4 tahun yang lalu. Pekerjaan tukang kebun bukanlah pertama di Wisma Tempo Sirnagalih saja, ia pernah menjadi tukang kebun di wisma-wisma lainya di sekitar Mega Mendung. Sebagai penduduk asli Mega Mendung, keberadaan wisma sangat membantu perekonomian bagi haerudin. Tukang kebun menyihir tanaman hijau dan rindang yang begitu menghampar di pelataran Wisma Tempo Sirnagalih terlihat tak membosankan mata untuk melihat tiap sudut ditempat ini. Bangunan wisma yang cukup tua dan merekam beberapa peristiwa menakutkan penuh kegilsahan tak terlihat  dari wisma, pesona senyum manis dan keasrian yang menyapa terhadap pengunjung yang datang di Wisma.
            Tanah seluas 2 hektar ini menjadi wadah penampung harapan-harapan orang akan berbagai kepentingan yang dikantunginya. Tempo menempatkan wisma ini sebagai berbagai kegiatan intelektual dan pergerakan jurnalis, para peserta KEM 2012 mengharapkan pembekalan wacana dan pisau analisis jurnalis yang baru dan progres. Namun harapan yang berpusat di aula itu tak begitu penting dan tidak perlu diketahui oleh seorang tukang kebun bernama Haerudin. Bekerja selama 4 tahun mengurusi perkebunan wisma bukan berarti ia ikut terpengaruh dengan kegiatan yang ada wisma. Apa yang menurut diruang aula sebagai ide besar dan harapan, ternyata di luar aula mempunyai ruang dan dunia ideal yang berbeda.  Ia hanya berharap agar rumput-rumput terlihat indah dengan warna hijau segar. Bergegas pulang untuk melihat sambutan istri membayangi tiap kali bekerja.
            Sebagai warga pribumi, ia tak mengerti mengapa harus membersihkan tanah orang lain dari tempat kelahirannya sendiri. Dengan wajah yang keriput dan berkepala 5 ia tak paham tanah-tanah yang sudah dikapling-kapling oleh villa, hanya menyisakan sepetak tanpa halaman untuk pak haerudin. Justru merawat dari tempat yang tak ada daya kuasa untuk dirinya. deru mesin rumput dijadikan sebagai music blues yang meneriakan dari harapan-harapan kecilnya. Sapu lidi yang menyapu sampah kering dedaunan tak mengingatkan akan profesinya sebagai tukang kebun tersubordinasi dan tersingkirkan dari pemikiran dominan modern.  Makna pribumi tidaklah begitu penting bagi pak Haerudin, ketika hal itu ditukar dengan uang kurang dari 600 ribu rupiah yang dibawa pulang kerumah. Cukup mengganti kata “pribumi” menjadi “mie instan”. Cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Walaupun 3 anak yang sudah berumah tangga semuanya juga kerap kali membantu masalah dapur.
            Ketika kebun di sekitar wisma dijadikan pemuas hawa nafsu mata akan imaji alam yang asri. Di sana juga tersiram cucuran keringat bertahun-tahun dari pak haerudin yang menjadi orang tua dari tanaman-tanaman yang ada. Pilihan ini dijalani dengan ketulusan sebagai bentuk kewajiban untuk mendapatkan hak perutnya. Ia bukanlah aktivis yang berbicara akan teori lingkungan. Apakah pak Haerudin termasuk sebagai pengambilan peran seperti akativis? Menurut mas Aat; ia dengan terang menegaskan sebagai pekerja tukang kebun mengambil peran dalam lingkungan hijau, dari pada aktivis lingkungan yang secara sembunyi-sembunyi mencari dana-dana proposal bocor tanpa ada tindakan riil. Pak Haerudin walaupun dia bekerja demi mendapakan uang, ia dengan tulus dan merawat tanaman. Karena tanaman perlu dirawat dan dibersihkan agar pertumbuhanya terjaga.  Etos kata kerja yang susah ditemui di papan tulis yang lepas dari dunia nyata. Di sini aku  temui apa arti kata kerja yang sesungguhnya.
            

Ahmad Wahib


Memakai etos Wahib
27 juli 2012
                Kebimbangan menghempas begitu kuat tanpa dorongan ataupun pakasaan. Saya dibuat untuk meragukan Tuhan, menagguhkan agama, khawatir kesesatan berpikirpun tak bisa terelakan. Namun disisi lain, keberadaan Tuhan menjadi sesuatu yang harus saya ketahui, agama normatif dengan kekauan ingin saya memberi bentuk agar lebih indah dipandang, berpikir bebas untuk melepas sebuah kemunafikan terhadap diri, agama termasuk Tuhan untuk kejujuran. Itulah yang saya dapatkan dari pemikran Ahmad Wahib yang tertuang dalam buku catatan hariannya memicu banyak pertanyaan dan kontroversi dalam pergolakan pemikiran kita sendiri. Jika dicermati, kebebasan berpikir Wahib jauh melampaui batas-batas kelaziman wacana pemikiran Islam dalam konteks masyarakat Indonesia pada saat itu. Wahib mempropagandakan ”kebebasan berpikir, ijtihad kolektif, dan pembaruan pemikiran Islam”.
                Ahmad Wahib lahir di Sampang, Madura, pada 1942. Wahib tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Namun, Wahib berpikiran sangat luas dan terbuka tidak berpikir monoton dalam keislaman, apalagi dia kemudian di lingkungan pendidikan di Yogyakarta. Membuat pola pemikiranya mengkonsumsi dari pandangan sekuler yaitu marxis, demokrasi, dan sosial. Keintenan diskusi wahib dengan beberap kerabatnya seperti Djohan Effendi, Dawam Raharjo memberikan pengaruh besar dalam perjalanan keintelektualannya.
                Corak pemikiran Wahib kental dengan semangat keintelektualitasan dan kekuatan akal dalam berpikir bebas, apapun objek yang ditujunya. Sesuatu yang meronta-ronta dalam pikiranya, tidak bisa disembunyikan atau dibendung, Wahib ingin meluapkan itu semuanya agar tidak ada kepura-puraan. Dapat dilihat misalnya dalam catatannya, bagaimana dia mencurahkan kegilisah terhadap Tuhan dalam mendekatinya dengan berpikir yang dibatasi, “Sebagian orang meminta agar saya berpikir dalam batas-batas Tauhid, sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Aneh, mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya orang yang mengakui bertuhan tetapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi, dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan yang tersembunyi.” (hal 23)
                Dalam mengambil pemikirannya, saya akan mengambil salah satu etos berpikir Wahib dalam mengenal sosoknya. Sulit untuk menguraikan pemikaran Wahib secara perinci apa yang menjadi konsenya pada waktu itu. Buku harian yang menjadi sumber karya pemikirannya tentulah, sangat abstrak dan tidak teratur kerangka pemikiran hanya asumsi dan kebebsan penilaian yang akan kita persepsikan. Seperti yang sudah dikatakan diatas bahwa Wahib tidak lazim atau seperti lokomotif pemikiran yang jauh melampauinya, ia sudah membahas sekuler sebelum Nurcholish majid yang juga teman sejawatnya. Liberalism, sekulerlisme dan pluralisme yang terus disuarakan sekarang oleh tokoh-tokoh intelek muda sudah banyak dibahas oleh Wahib. Ada satu hal yang menarik dari beberap buah pemikiranya, yaitu bagaimana seorang Wahib yang menyandang title DO (drop out) di dunia perkuliahan. Masih sangat antusias sekali dalam mencari ilmu. Penyusunan kemasa depan dalam menggali disiplin ilmu ia pikirkan, terbilang ”rakus” juga wahib dalam masalah keilmuan.
                Pergolakan pemikiran sering menghantuinya ketika bersentuhan dengan agama dan Tuhan. Ada semangat berpikir keras Dalam tubuh wahib untuk memoles pengetahuan tentang agama. Ia membedakan antara Iman secara formil dan materil. Formal hanya sebatas iman akan keberadaanya secara keyakinan. Namun, materil bagaimana mengakses “keberadaanya” dengan mengetahuinya secara rasional. Bukan kemusrikan dalam beragama, saya teringat dengan perkataan Qurai shihab bahwa hanya hati yang menciptakan keimanan dan diperkuat dengan kekuatan akal akan pengetahuan. Kejujuran pemikiran begitu sangat ditonjolkan dari pertanyaan yang mengkabuti otaknya.
                Kebebasan berpikir dianggap sebagai sebuah eksisitensi dari Tuhan itu sendiri. Menyiratkan makna konotatif, bahwa ketika kita tidak berpikir bebas sama saja tidak mensyukuri akal yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Melepaskan baju dalam proses menggali suatu hal, menjadi kebiasaan wahib dalam mempelajari sesuatu. Ia menerima penularan dari segala yang ada diluar dirinya untuk sebuah proses menjadi dirinya. Ada kutipan yang mengatakan bahwa “ aku bukanlah islam atau katolik bukan juga hindu. Akau adalah semuanya…….” Penggalan kutipan dari catatan harian tersebut dapat ditafsiri, bagaimana sosok Wahib ingin menjadi dirinya dan berproses dan terus berproses menjadi dirinya sendiri.
                Itulah hal yang akan kita dapat setelah membaca buku kecil pergolakan pemikiran Ahmad Wahib. Bagaimana kita tidak diajak dalam pewacanaan wahib sendiri, namun lebih bagaimana kita diajak kepada mewahib, meaku. Keberanian pencarian dan pengembaraan diri akan dilepas bebas untuk mendapatkan kebenaran. Proses berpikir seperti ini yang kini menjadi sebuah ironis, kerap kali dianggap sebagai buah pemikiran sesat. Pemisahan ranah hati dan pikiran menjadi kabur, hal transenden dan imanen dicampur adukan menjadi kesucian batu. Pemikiran umat islam akan hanya mencari kebenaran yang sudah tercipta dari akar kesejarahan, retroprespektif. Sedangkan pemikiran akan pencarian kedepan sangat jarang kita temukan dalam umat muslimin, prospektif. Mungkin inilah banyak tokoh muslim seperti arkoun yang sadar akan kebekuan teks.
                Sebagai hamba Tuhan yang ingin menyingkap segala pengetahuan tentang Tuhan, tentunya akan mencari pengetahuan itu dan jika ada batas maka akan cari sejauh mana batas itu malang melintang. Teruslah berproses dan proses tak pernah berujung itu akan mendekatkanmu kepada Ketidakberhinggaan. Keberanian pribadi wahib kini sudahlah tiada berjasad lagi, jasadnya mati mendahului namanya namun karyanya catatan harian ini tidaklah akan tetap hidup. Ini mengingat kita kepada aktivis muda Soe Hok Gie yang juga meninggal muda dan dikenal lewat tulisan catatan harianya. Tokoh-tokoh tidak besar dan dikenang jika tidak mempunyai karya tulis, umur bukanlah ukuran kebesaran, maka untuk temen-temen semua mari kita berkarya mulai dari kemudaan yang masih tersandang dalam diri kita. Pada tanggal 30 Maret Wahib ditabrak sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi di persimpangan Jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta. Saat itu ia baru saja keluar dari kantor Majalah Tempo, tempat di mana Wahib bekerja menjadi calon reporter.
*masih belum selesasi, bersambung dulu yaaaa……         

Kebebasan beragama


Keberagaman menuntut Kebebasan
12 mei 2012

Pemahaman terhadap perbedaan pandangan masih belum dipahami sebagai suatu hal alamiah oleh beberapa orang di sekitar kita. Padahal perbedaan diantara individu satu dengan yang  lainya adalah hal natural. Karena individu sebagai mahluk ciptaan Tuhan dianugerahi pikiran dan hati memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain. Imajinasi selalu setia menemani kita dalam memproyeksikan dan mereflesikannya dalam bentuk riil. Ketika ada sebuah pemaksaan oleh pihak lain untuk “menyamakan” dari “perbedaan” pemikiran sangatlah lucu. Kiranya patut kita pertanyakan, apakah ini manusia benar-benar manusia ataukah kalau kita bedah kepala dan dadanya berisi ikatan kabel-kabel dan chip seperti robot ? Pemikiran akan menjadi sebuah kontroversi besar jika bersentuhan dengan agama atau kaum agama sengaja menyentuhkan pada wilayah tersebut.
Masih kita ingat tanggapan segelintir ormas islam yang tidak setuju akan konser Lady Gaga di Jakarta karena “embel-embel” ada simbol kafir. Apa hubungannya seni musik dengan agama? Haruskah ditarik semua persoalan pada agama, apalagi agama yang menurut kaum ambisisus dan egois. Memang terlalu memaksakan libido keagamaannya yang tak tertampung itu. Tersirat dalam pikiran kita bahwa beragama kurang sempurna jika belum melarang dan mengkafirkan. Padahal pewartaan agama pada awalnya bukan hanya bertindak sebagai juru dakwah, namun sebagai pejuang dan pembela kaum tertindas. Mungkin telah terjadi pergeseran orientasi setelah berabad-abad agama dilahirkan, sekarang pewarta agama malah menjadi pewarta korup untuk mengambil alih justifikasi Ilahiah.
Jika persoalan justifikasi sudah menjamur dikalangan pewarta agama seperti menarik hukum Tuhan untuk turun kebumi dan memperebutkan klaim kebenaran satu sama lain. Akankah mungkin agama dapat hidup harmonis tanpa adanya kebebasan, inovatif dan imajinatif ? Tentunya, menjadi barang yang sangat menakutkan bagi keberadaan manusia sebagai mahluk yang merdeka, jika peperangan justifikasi terus dipertontonkan. Memang kebebasan bukanlah suatu yang mudah, ia merupakan beban yang menuntut tanggung jawab individu. Kahlil Gibran pernah mengatakan bahwa tidak setuju akan kebebasan berbuat simbol, sebaliknya dia menyadari bahwa manusia benarbenar terbatas akan tindakan fisiknya. Satu-satunya kebebasan yang diterima adalah kebebasan berpikir.
Ada sebuah celah yang mendapakatkan tempat “benarbenar” bebas dan tidak dapat dihalanghalangi. Walaupun kita dibuang ke pulau terpencil, tangan diikat, mulut dibungkam, namun pemikiran tetap dalam cengkraman. Mungkin masih banyak sekali pikiran dan pertanyaan dalam diri kita yang belum sempat untuk diletupkan ke atas permukaan. Untuk mendorong pada ranah pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas, tentulah wajib formulasi hadir
dipikiran kita. Pada tahap selajutnya pikiran dan pertanyaan akan samarsamar menuntut lahirnya formulasi baru dalam pikiran kita. Namun Kerapkali kita masih memunafikan apa yang ada dalam perasaan dan pikiran untuk diformulasikan karena ketakutan akan sebongkah ymbol aturan membayangi mindset. Diperlukan keberanian kebebasan berpikir, mengeluarkan uneg-uneg dengan terus terang  tanpa ketakutan sedikitpun termasuk kepada Tuhan sekalipun.

Pluralisme


ISLAM INDONESIA; TANPA DISTORSI OTENTITAS
Muhamad Isomuddin

Wajah keberagamaan (Islam) dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhasan akan ajaran agama yang dikemas dengan budaya lokal sekitar. Pemeluk agama Islam di setiap daerahnya mempunyai cara peribadatan yang berbeda-beda pula. Menambahkan warna perbedaan, setelah dalam Islam juga ada mazhab-mazhab yang menjadi pedoman syariat. Berpelukanya ajaran dengan budaya secara harmonis di Indonesia berjalan tidak begitu mulus lagi. Ketika pemahaman akan pengembalian keotentitasan Islam di Indonesia sudah jauh dari “kesucian”. Budaya yang cenderung akan melahirkan bid’ah, sudah jauh dari Islam yang sebenaranya.
Sebuah sistem yang mencita-citakan Islam sebagai agama lengkap (kaffah), sempurna (kamil) dan meliputi segala sesuatu (syamil). Memberikan penilaian terhadap muslim Indonesia yang telah berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik serta mengakomodasi itu semua. Dianggap telah kehilangan Islam yang benar, ideal dan otentik dalam ajaran agama. Otentitas Islam adalah dengan cara mengembalikanya pada asal dan mengembalikanya pada teks suci yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Rupanya cita-cita seperti ini tidak berhenti pada pergulatan gagasan saja namun, telah menyerupai gerakan-gerakan militan yang bermain pada level praksis. Terlihat dengan munculnya perda-perda syariah di daerah (terlepas dari pro-kontra yang ada) penerapan perda merayapi elemen-elemen bangsa ini. Budaya lokal semakin diasingkan dari eksistensi identitas masyarakat pribumi sendiri. Banyak perda di daerah dan budaya lokal terasa terkoloni tanpa harus saya sebutkan satu persatu. Dalam argumentasi nalar tentang Islam sebagai agama yang murni, mungkin argumentatif pertama adalah Islam sebagai agama yang final; ajaran Islam dianggap tidak berubah—ketidakberubahan dan Islam dipandang sebagai agama yang mandiri, bisa berdiri sendiri tanpa serapan lain diluar islam.
Pendistorsian akan klaim otentitas agama Islam ini sedikit absurd akan  pemahaman yang literal terhadap teks dan menggelitik untuk bertanya, apakah ada agama otentitas, murni dari Tuhan? Apakah ajaran atau wahyu merupakan sebuah paket utuh dari langit?  Apakah al-Quran dari Tuhan itu tidak membutuhkan budaya manusia sebagai objek yang ditujunya? Haruskah budaya yang tidak lahir dari kehistorisan Islam itu dimusnahkan? Bisakah budaya yang toleransi, bijaksana dan ramah bisa hidup sejajar dengan “Islam otentik”? Lebih dari itu, bagaimana Islam yang otentik itu di tegakan dengan mengkoloni yang lain? Bukankah Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin? Perlu kita analisis sedikit tentang agama dari Tuhan yang “otentik” itu.
Islam yang hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang membawa misi pembebasan. Masyarakat Arab yang hidup dalam ruang dan waktu sudah berbeda pada saat ini, tentunnya tidak bisa kita pindahkan begitu saja hasil dari abad 7 ke abad sekarang.  Memahami konteks kehistorisan al-Quran merupakan keharusan bagi mereka yang ingin mendapatkan makna al-Quran secara obyektif. Dengan demikian, kita dapat mengetahui aspek-aspek dalam al-Quran yang bersifat universal-eternal dan aspek yang bersifat partikultural-temporal. Al-Quran yang lahir di Arab banyak melakukan dialog dengan konteks Arab itu sendiri, karena Islam bukanlah paket samawi yang lahir dari ruang hampa. Islam adalah agama yang lahir dari hasil dialektika kehendak Tuhan dengan kebudayaan.
Kenyataan bahwa al-Quran adalah jawaban bagi masyarakat Arab, dapat dilihat dari deskripsi tentang gambaran surga. Masyarakat Arab yang hidup di Padang pasir gersang, tentunya sangat mengidamkan akan kehijauan dan kerindangan. Deskripsi surga yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Mungkin kalau ingin bertanya agak nyeleneh namun, bisa menguatkan argumen di atas. Kenapa dalam al-Quran hanya membahas agama Yahudi dan Nasrani saja atau sedikit tentang Zoroaster? Padahal agama di negara lain juga sudah ada. Ini semakin menguatkan bahwa al-Quran sebagai peresponan ilahi terhadap sosial sekitar Arab saja. Walaupun kita nampaknya yakin bahwa nilai dalam al-Quran adalah universal.  Itulah sebabnya mengambil makna secara literalnya sama saja menghancurkan nilai universalitas al-Quran.
keliruan dalam melakukan generalisasi keontentikan kerap kali terlihat dalam bentuk klaim-kalaim apologetik yang sering muncul dari kalangan muslim puritan. Banyak orang muslim menjadi gagap. Ketika dihadapkan antara Islam dan tradisi Arab dengan demarkasi moral dan ideologi yang sangat kontras. Banyak terkait dengan tradisi Arab yang kemudian diadopsi oleh Islam. Hasan Ud-Din Hasyim menyimpulkan bahwa banyak hukum-hukum pidana dan perdata seperti yang biasa ditemui dalam kitab fiqih, merupakan keberlanjutan hukum yang ada pada tradisi pra-Islam. Pemfilteran dan modifikasi yang sebelumnya sudah ada kemudian diintegralkan menjadi bagian dari Islam.
Penafsiran-penafsiran akan teks akan agama denga melihat sosio-historis sangatlah penting dikaji. Agar pemahaman akan teks tidak terjerumus pada kulitnya saja namun, semangat teks itu sendiri yang harus diketahui sebagai nilai intinya. Dalam pandangan kaum yang lebih menonjolkan sisi eksotorik dari pada esotoriknya, akan menimbulkan kerigitan hukum. menurut Ulil Abshar bahwa kaum fuqoha lebih memenangkan atau mendahulukan hal yang eksotorik dari pada makna. Berbeda dengan kalangan sufi yang berani menembus prosedur-prosedur eksotorik beranjak pada hal esotorik. Wajarlah kalau kalangan ini lebih toleran terhadap budaya lokal. Fakta sejarah yang sampai sekarang masih diyakini kebenaranya bahwa Islam masuk ke jawa tidak melalui langsung dari Arab tapi melalui persinggahannya di India. Oleh karena itu sebelum masuk kenusantara khusunya di jawa Islam sudah akrab dengan Hindu dan Budha. Asimilasi budaya antara Islam dan unsur-unsur lokal India inilah menurut Mukti Ali telah mempermudah proses Islamisasi di Indonesia. Ini juga tidak terlepas dengan peran kaum yang bersifat inklusif dalam agama. Seperti yang sudah di kutip diatas, kaum sufi yang sangat toleran dan berani melewati tafsir ke arah yang esotorik.
Penyebaran Islam di tanah jawa mudah di terima oleh masyarakat luas, karena proses dialogis antara ajaran agama dan budaya lokal ini. Intertekstualitas yang diperkenalkan oleh Julia Kristeva sebagai lanjutan dari proses dialogisnya Mikhail Bakhtin, rupanya diterapkan Wali Songo dalam menyabarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Media yang di gunakan oleh para wali pada saat itu menggunakan budaya jawa, contohnya dalam penyebaran menggunakan wayang, penggunaan bahasa sebagai pemahaman yang mudah pada masyarakat jawa seperti sunan kalijaga dengan tembang lir-ilirnya, ritual-ritual hindu (tahlil) dikemas dengan ajaran Islam itu sendiri. Penggunaan simbol dalam rumah ibadah masjid demak yang mengadopsi budaya arsitek bangunan dari rumah ibadah Hindu. Penggunaan media budaya dalam memasukan agama kedalam masyarakat, merupakan senjata ampuh dalam hasil penyebaranya. Karena masyarakat dapat mudah menghayati dan memahami akan ajaran islam itu sendiri secara akrab.
Dalam bukunya islamic modernism Muhamad Syahrur merumuskan hukum Islam kedalam dua batas; batas atas (had ‘a’la) dan batas bawah (had al adna). Dalam dua batas ini manusia diberikan kebebasan untuk berkreasi dan memilih hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kebudayaan lokal tersendiri, bisa berdampingan dengan agama Islam dan tetap menjalankan tradisi yang ada tanpa harus menghapuskanya. Penerapan porsi aspek Islam yang Universal-eternal dan pertikultural-temporal sangatlah berpengaruh pada pengembangan Islam masa depan. Jika porsi universal-eternal lebih besar, maka membuka peluang kalangan-kalangan puritan yang mempersempit budaya lokal. Sebaliknya, semakin besar porsi partikiultural-temporal membuka kalangan muslim yang akomodatif terhadap budaya lokal. Dengan itu Indonesia akan tetap pada khitohnya sebagai masyarakat yang kaya akan budaya dan masyarakat yang toleransi, menghargai dengan berpegang teguh pada asas Bhineka Tunggal Ika.

Direktur UKM
Central Study Of Philosophy And Culture (CSPC)
IAIN SYEKH NUR DJATI CIREBON

Syair Tanpo Waton


 Syair Tanpo Waton
Oleh; Muhamad Isomuddin

“Kita butuh kemabukan untuk mencapai pesan dalam penandaan”
                Sebuah karya satra dapat kita temukan tanda-tanda yang memiliki makna tersembunyi. Oleh sebab itu, perlu kita temukan dan ceritakan apa yang tersembunyi dibalik tanda bahasa yang ada. syair tanpo waton ini pun dapat ditinjau lewat semiotika untuk memahami apa yang ada dalan teks maupun luar teksnya. Bahkan isi syair sendiri representasi dari perasaan dan pikiran sang penyair atau hasil dari visual mata yang menyaksikan fenomena sekitar. Semakin berwarna mengartikan syair dengan mengenali tanda-tanda yang ada dengan meminjam semiotika. Penyampaian syair dengan menggunakan media musik menambah keindahan suatu karya, efek kemabukan dari musik akan membawa kita pada dunia atas sadar
Syair tanpo waton masih sulit untuk melacak kevalidan akar kesejarahanya, siapa pencipta syair, kapan mulai dinyayikan dan di mana dinyayikan. Menurut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang, KH Marzuki Mustamar, yang mempunyai forum pertemuan rutin bertajuk “Cangkru’an Gus Dur”, mengaku ikut mengembangkan shalawat ini. Ia pun yakin, yang melantunkan syi’ir itu benar-benar Gus Dur. Lantunan syair tanpo waton mulai populer setelah beberapa bulan setelah Gus Dur meninggal akhir tahun 2010 (sumber NU online). Terlepas dari siapa pelantun syair tanpo waton, ada yang perlu kita pahami akan makna yang ingin disampaikan. 
Manusia tak dapat terlepas akan kebutuhan pemenuhan emosi dan sekaligus mengekspresikanya, sebagai bentuk pemecah ilusif yang ada. Musik merupakan pemenuhan kebutuhan manusia itu, disadari atau tidak kita sering menuangkan ekspresi itu, seperti bersiul atau dengan bernyanyi. Sulit kiranya untuk mendefinisikan musik secara detail, apakah musik merupakan satuan irama yang terorganisir berpedoman pada aturan khusus, sehingga menghasilkan suara yang harmonis? Karya-karya Beethoven yang seringkali mengeksplorasi paduan kord-kord harmoni yang tidak biasa, menunjukan bagaimana musik tidak harus menurut pada suatu peraturan. Kita tidak akan terlarut lama pada pemaknaan spesifik yang sulit, namun yang terpenting adalah tujuan musik sebagai  penyampaian emosi tersebut.
kita selalu mencari representasi perasaan kita di dalam musik, sebagai  pemenuhan harapan atau terbawanya emosi akan musik yang didengarkan. Pesan yang tersirat di dalam irama atau bait lagu dapat dengan mudahnya kita pahami tanpa harus melogikanya sekalipun, karena musik adalah intuitif. Sederhananya, kata yang ditulis dalam sebuah lirik berasal dari teori atau pengalaman jiwa yang sebenarnya begitu rumit dan sulit dipahami jika tidak diiringi dengan musik. Pesan yang ada dalam syair tanpo waton merupakan kata-kata yang biasa kita dengar dalam pengajian kuping dan dengan banyaknya teori yang ada di dalamnya tak cukup diselasaikan dalam 10 sks. Pesan dalam kata-kata itu tidak terlalu berat untuk menalarnya, namun tidak mudah langsung masuk dalam kesadaran pemahaman kita.
Kata-kata yang mengandung makna dalam syair tanpo waton  dengan begitu mudah masuk dalam kesadaran pemahaman dan menggetarkan jiwa dengan cara mendengarkan lantunannya. Bukan permasalahan siapa yang melantunkanya, karena hal itu juga masih ada beberapa versi dan kontroversi. Namun, hal ini merupakan permasalahan kata-kata yang terartikulasikan, merupakan tanda emosi dan kesungguhan. Makna yang luas dalam syair tidak tereduksi hanya dalam sebatas kata-kata. Sebagaimana Griel Marcus uraikan, “kata-kata adalah bunyi yang bisa kita rasakan dahulu sebelum menjadi peryataan-peryataan untuk dipahami’’. Penyampaian dari kata yang tersusun berbait-bait akan menggetarkan jiwa dengan melantunkanya, dibandingkan jika kita hanya membacanya atau mendengarkan khutbah. Ini mengingatkan kita pada Roland Barthes yang disebut dengan “butir” suara, komponen suara dalam melantunkan kata-kata. Dengan itu kita akan mendapatkan kesenangan akan apa yang didapat (sifat-sifat esensial dari makna).
Dalam bait pertama syair tanpo waton “ngawiti ingsun ngalaras syi’iran”, memulainya dengan menembangkan syair. Kalau saya tafsirkan, ini sebagai kunci pembuka wacana yang ada pada bait selanjutnya, maksudnya dengan lantunan wacana itu akan mudah masuk dalam kesadaran pemahaman. Karena lantunan atau yang saya sebut juga sebagai musik ini, menimbulkan efek kemabukan dimana tak ada jarak lagi, sekat-sekat, tidak terkungkung terhadap perbedaan etnis, ras dan agama. Musik memang transenden, melampaui segala perbedaan dan menyampaikan persamaan rasa yang dialami oleh setiap orang. Ini memberikan kemudahan kita untuk memahami isi dalam syair tersebut, mungkin musik ini sama dengan kata-kata teologis “undzur ma qola wala tandzur man qola” untuk memahami sebuah pesan.
Dalam lirik syair tanpo waton yang mempresentasikan tentang kehidupan dengan isi mengenai  Tuhan, keilmuan, kemanusian, agama dan  kematian. Dicermati bait-bait yang ditulis ini, terstruktur mulai dari keTuhanan sebagai pembuka dan Kematian sebagai penutup. Kembali mengingatkan pada Ferdinand Saussure tentang  prinsip semiotika signifikasi, semiotika pada tingkat langue. Dalam kerangka langue, sausure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ‘bentuk’ atau ‘ekspresi’ dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan “konsep” atau “makna”. Relasi-relasi antara penanda dan petanda inilah yang memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lainya.
Penggalan kata “Tuhan” yang terdapat dalam bagian pembukaan syair, merupakan hal yang sesuai sebagai syair mengandung tentang nasihat. Indonesia khususnya merupakan masyarakat yang mayoritas  bertuhan. Sehingga nasihat yang akan disampaikan dalam kandungan syair lebih mudah diterima dan dipahami secara utuh. Karena kata Tuhan yang ditempatkan pada awal ini, menimbulkan gambaran akan isi yang disampaikan merupakan nasihat yang sakral dan istimewa. Proyeksi akan gamabaran Tuhan memberikan efek Ketertundukan masyarakat atau setidaknya menimbulkan sikap ”diam” sejenak untuk mendengarkanya dengan konsentrasi. Menghilangkan sikap prejudice yang membuka secara lebar-lebar hati dan pikiran tanpa ada pengafirmatifan dan penegasian sebelumnya.
Dengan pembukaan “menetralkan” suasana pada objek, wacana selanjutnya sebagai isi tentang keilmuan, agama, keiklashan dan humanisasi akan terima sebagai sebuah insight. Kemudian dalam penutup syair ini menyinggung masalah kematian, semakin memperkuat syair ini “melumpuhkan” orang. Kematian merupakan hal yang ditakutkan atau juga ada sebuah cita-cita akan kematian tersebut. Dalam kutipan kata “ utuh mayite ugo ulese” inilah yang merupakan gambaran cita-cita kematian yang khusnul khotimah. Tawaran akan kematian yang baik ini akan hadir jika melakukan seluruh isi atau nasihat dalam syair. Tanda-tanda yang digunakan dalam syair tanpo waton, merupakan aspek-aspek yang fundamental pada sisi manusia. Ketuhanan dan kematian merupakan simbolitas yang dapat mempengaruhi secara efektif akan maksud yang dituju.
Kehidupan selalu dibayangi oleh tanda-tanda yang memiliki pesan tersembunyi dan sulit untuk diterima. Pembahasaan yang kadang tidak selalu terverbalkan dan terkomunikasikan dengan jelas, mengolak-alikan otak untuk berpikir melogikakanya. Meskipun tanda menyiratkan pesan yang jelas, kerap kali sulit untuk masuk dalam sebuah insight. Melalui petanda kepekaan hati nurani manusia yaitu musik, pesan tidak harus dipahami secara rasional ia menekankan bahwa musik merupakan pengalaman secara intuitif, diresapi tanpa perlu kita cari penjelasan logisnya bagi Schopenhauer. Entah, apakah ini semacam diskursus filsafat sesungguhnya sudah patah, dipatahkan oleh nada-nada ritmis-dramatis. Dalam musik kita menemukan apa yang dielu-elukan Socrates. Musik itu indah, di dalamnya terendap kebenaran, dan melaluinya manusia terbebaskan. Lirik menggunakan diksi simbolik bagian dari kesedehanaan kata akan keuniversalan makna atau word hermeneutic tanpa harus mereduksinya. Karena itu, tak salah jika kita mengtakan bahwa musik adalah transenden, melampaui “tirani kata dan makna”.

*Mahasiswa Akidah Filsafat IV
Dan direktur centre study of philosophy and culture (CSPC)