Kota
tidak untuk diketahui: Cirebon
15
Desember 2012
1. Prolog
Kota
Cirebon masih menjadi hal yang asing untuk saya kenali secara dekat. Lembar
kertas kosong yang ada dihadapan saya terlihat begitu bersih tanpa ada goresan
pena sedikitpun. Karena saya bingung akan menuliskan apa tentang kota Cirebon.
Tak ada ide dan rekaman jelas tentang kota ini. Padahal kota ini merupakan
tanah kelahiran dan dibesarkannya saya hingga saat ini, tidak menjamin
keakraban saya dengan kota Cirebon. Sejenak saya merenung dengan tatapan kosong
ke lembar kertas. Kenapa kota ini sulit saya tuliskan dan diceritakan. Apakah
sejarah kota Cirebon tak pernah dikenalkan ke masyarakat? Ataukah kebodahan
saya yang tak pernah mempelajari sejarah dan kebudayaan kota ini? Atau
jangan-jangan kota ini memang tak layak untuk dituliskan dan diceritakan?
Terhentak dengan keras membentur nalar untuk mencari jawaban yang sebelumnya
tidak pernah saya pertanyakan.
Untuk
memahami atau sekedar mengetahui kota secara holistik merupakan perjalanan panjang
bagi saya atau mungkin masyarakat kebanyakan untuk menuju masyarakat yang
berbudaya. Entitas yang tak akan terpisahkan dari akar sejarah kota yang
merekam perjalanan sejarah terbentuknya sebuah kota. Perlu kiranya membahas
budaya untuk mengetahui secara utuh apa dan kenapa kota itu ada. Sedangkan saya
tak begitu mengerti yang dimaksud dengan budaya yang ada di kota Cirebon. Yang
saya tahu hanyalah sisa puing-puing dari kejayaan masa lampau. Itupun hanya bentuk
bangunannya saja, tak mengerti asal-usulnya. Sehingga rasa hormat dan
pengagungan terhadap budaya hanyalah instrumental saja. Setidaknya, agar dapat
dikatakan sebagai bagian orang yang cinta budaya dan menjaga kearifan lokal.
Padahal makna dan sejarah akan pengetahuan kebudayaan sangat buta dan bodoh di
otak ini.
Literatur
yang menerangkan kota Cirebon, tak mudah untuk ditemui di toko-toko buku bahkan
di mbah google sekalipun. Cerita
angin ilir yang berhembus dari sana
dan sini menjadi rujukan referensi sementara saja. Setidaknya mengobati
kerinduan cerita masa lampau yang begitu jaya, lumayan untuk meneguhkan percaya
diri masyarakat. Ibarat ganja untuk menenangkan masyarakat dari kegagapan budayanya
sendiri.
2. Budaya
Cirebon
Untuk
dapat mengelilingi kota Cirebon tak perlu merogoh kantong dalam-dalam, cukup
dengan mengisi bensin kendaraan sepeda motor anda dua liter saja. Anda dapat
menemui beraneka ragam isi kota ini. Baik yang terlihat seperti di iklan
pariwisata maupun yang tidak. Salah satunya bangunan monumen sejarah
kemerdekaan yang sudah mulai terlupakan adalah tugu proklamasi. Berada di
tengah-tengah kota sebelah alun-alun, monument ini tak begitu dihiraukan oleh
masyarakat. Berdiri di samping perempatan jalan, seolah menjadi bagian dari
pengaturan rambu lalu lintas dan patung hiasan taman yang tak lagi terurus.
Tugu diletakan pada tanggal 17-8-1945 djam 10.56 oleh toean presiden pertama.
Kemerdekaan sangat dieluh-eluhkan dan cita-cita bersama masyarakat pada saat
itu. Jika saja monument tugu dirawat dengan baik dan pencahayaan lampu yang
baik bukan tidak mungkin akan menjadi penarik perhatian. Dan dengan itu pula
akan menjadi media untuk masyarakat memberitahu bahwa monumen yang catnya sudah
mengelupas merupakan bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia di kota Cirebon.
Bertempat
di pulau Jawa yang kental akan keraton-keraton raja Jawa, Cirebon mempunyai
empat keraton yang berdekatan dalam satu kota yang sama. Membuktikan bahwa kota
ini menjadi pusat pemerintahan dan mengukuhkan
peryataan wali songo yang menyebut sebagai puser bumi. Terdapat banyak benda
pusaka tersimpan dimasing-masing keraton sebagai saksi bisu perjalanan keraton
masa lampau yang penuh dengan perjuangan. Tumpukan manuskrip-manuskrip
tersimpan secara rapih di dalam lemari tua. Waluapun tidak semua orang dapat
melihat langsung, apalagi membuka lembaran-lembaran manuskrip. Karena usia yang
sudah tua dan kertas yang mulai lapuk. Maka sangat dijaga keutuhanya untuk
tetap dapat diwariskan.
Upacara-upacara
adat keratonan masih menjadi daya pikat masyarakat untuk mengunjungi keraton
dan menyaksikan prosesi ritual adat. Salah satu dari acara yang ada setiap
tahunya adalah maulid nabi. Dimana adanya pasar dadakan sebulan penuh sebelum
acara ritual adat dijalankan. Ada hal menarik dari pasar dadakan ini, rata-rata
pedagang yang berjualan bukanlah asli orang Cirebon melainkan dari luar daerah
dan kebanyakan dari pulau Sumatera. Tak kalah dengan mall, di pasar ini,
menjajajkan berbagai perlengkapan kebutuhan hidup. Dari pakaian yang model
tradisional sampai model korea dengan boy
dan girl band pun ada, makanan martabak,
tahu dan bakso masih menjadi favorit masyarakat sebagai salah satu tujuan untuk
berkunjung kepasar dadakan.
Prosesi
metu jimat (mengeluarkan pusaka) dari
lemari keraton yang sudah berdebu dimandikan dengan ritual yang sangat sakral.
Acara inti dari sebelumnya dibuka dengan pasar dadakan satu bulan penuh ditutup
dengan ritual sakral yang disebut dengan malam pelal. Ada hal lainya lagi yang cukup menarik, yaitu babad Cirebon (pembukaan lahan). Suatu
pagelaran dibacakanya cerita tentang babad
Cirebon dalam upaya mensosialisasikan sejarah babad Cirebon dalam bentuk acara yang lebih elegan dan tidak
membosankan. Bertempat di dalam keraton dengan suasana yang khas keraton
menghipnotis kita hidup dimasa lampau.
Pagelaran
tari topeng menjadi entitas yang tak terpisahkan dari bagian keraton. Tidak hanya di keraton yang ketika membuka
acara-acara seremonial dengan tari topeng. Kini beberapa kegiatan lembaga negara
dan masyarakat sering mnggunakan tari topeng sebagai pembuka acara dengan tari
topeng. Sanggar-sanggar tari terdapat disetiap keraton untuk pusat pelatihan
generasi muda. Tari dengan meliuk-liuknya tubuh seorang perempuan, penari
mengikuti irama gendang, gamelan dan kenting. Berdramaturgi dengan sebuah
topeng yang dikenakanya.
Suatu
waktu pernah ada pegelaran yang lumayan besar dan sangat jarang ada di kota
Cirebon. Bertempat di situs gua sunyaragi pagelaran kolosal Putri Ong Tien
menghadirkan ragam budaya Cirebon dan negeri tirai bambu. Menunjukan kota ini
ramah akan kebudayaan luar dan menjungjung toleransi, sebagaimana dengan wajah
asas Bhineka Tunggal Ika. Gua sunyaragi merupakan situs peninggalan sejarah di
dalam kota tepatnya di pinggir jalan pantura. Material gua yang terbuat dari
batu karang dan terdapat patung-patung menjadi daya tarik pengunjung karena
berbeda dengan situs gua-gua lainya. Gua yang dulunya digunakan sebagai tempat
bertapa para prajurit keratonan, terlihat seram dan bulu kuduk berdiri kala
senja mulai datang. Banyaknya rumput ilalang yang tumbuh secara liar akibat
kurang perawatan dan pencahayaan disekitar gua tidak ada. Menjadikan situs gua
ini menjadi mandeg dan tak ada
pengunjung dimalam hari. Suatu waktu saya pernah bertanya kepada petugas gua
Sunyaragi “ mengapa tidak ada pencahayaan yang baik disaat malam hari? Agar
wisata malam juga berjalan tak kalah dengan candi Prambanan?” Petugas gua malah
menjawab “nanti nilai mistis dari gua ini hilang mas !” peryataan yang sangat menggelitik, apakah pencahayaan
mepengaruhi nilai kemistisan dari gua tersebut yang sudah menjadi tujuan wisata
di kota ini.
Jika
kita mengunjungi sebuah kota, tentulah kita akan mencari makanan khas daerah tersebut untuk mengganjal perut
yang sudah banyak terisi angin. Di Cirebon wisata kuliner merupakan tempatnya,
ada berbagai macam jenis makanan yang akan menggoncang perut ini untuk cepat
lapar. Ada nasi jamblang, empal gentong dan pedesan entog sebagai penyambut
anda yang berkunjung di kota Cirebon. Nasi jamblang merupakan segumpal nasi
yang dibungkus dengan daun jati, menambah wangi aroma nasi dan nafsu makan.
Kita dapat mengambil lima bungkus nasi bungkus atau lebih karena porsi nasi
tidak terlalu banyak sedangkan dihadapkan berbagai macam lauk lebih dari 25
jenis lauk yang bebas kita pilih untuk memanjakan perut. Jika ingin makanan
berkuah, ada empal gentong yang dimasak menggunakan gentong dan tungku kayu.
Kuah kuning yang berisi irisan daging dan kulit sapi dengan ditaburi sambal
kering, akan mengucurkan keringat dari badan anda dan menghilangkan kantuk
untuk melanjutkan perjalanan.
Wisata
religi pun ada di kota ini. Satu-satunya sunan diantara wali songo yang berada
di Jawa barat berada di Cirebon yaitu kanjeng sunan Gunung Jati. Menjadi tujuan
kebanyakan masyarakat muslim di negeri ini dan non muslim. Wisata religi tidak
hanya diperuntukan untuk kalangan muslim saja, orang-orang Tiong Hoa juga
banyak yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Istri dari Sunan Gunung Jati berasal
dari negeri tirai bambu sana, tak aneh jika ada tempat untuk persembayangan
membakar dupa di dalam makam. Sungguh sangat plural kota ini.
Sebelum
beranjak kaki dari kota Cirebon, ada buah oleh-oleh yang dapat dibawa ke rumah.
Buah tangan berupa batik trusmi dan kerajinan topeng Cirebon. Batik Trusmi yang
mempunyai motif-motif elegan salah satunya dalah motif mega mendung yang khas
dengan kota Cirebon. Tidak hanya pertokoan batik saja yang anda lihat. Namun
dapat menjumpai pembuatan motif batik secara langsung. Kampung Trusmi yang
mayoritas masyarakatnya pengrajin batik ini, disebut sebagai kampung batik. Anda
dapat mencoba membuat batik secara langsung dengan penduduk yang ramah tamah di
sini. Sepanjang jalan anda keluar dari kampung ini untuk kembali ke kota anda,
ada aroma cairan malam menemani sampai keluar kampung sebagai terapi menenangkan
dari uang yang sudah kempis setelah berkeliling kota Cirebon.
3. Paradoks
budaya
Berbarengan
dengan banyaknya warisan budaya yang ada dikota Cirebon. Masuk dengan deras
model-model modernitas agar kota ini terangkat martabatnya di tengah-tengah
globalisasi. Pembangunanisme digencarkan secara ngotot dengan pewacanaan megapolitan. Bagi para corporate menjadi santapan empuk untuk
bersinggah dan menelurkan anak-anak perusahaan. Karena kontruksi masyarakat
yang sudah mulai konsumtif. Hotel-hotel bintang dijajahkan di pinggir jalan
strategis kota. Mall-mall menjadi ka’bah trend baru yang harus diikuti, menyingkirkan
pasar tradisional. Kafe-kafe mewah bertumbuhan dengan menawarkan status sosial
dari pada kenikmatan menunya.
Entah
hal ini harus diamini sebagai sebuah keniscayaan ataukah dijewantahkan dari
paradoksnya identitas masyarakat. Bungkusan modernitas memang sangat menarik
dan menjanjikan akan pragmatisme materi, jauh dari kebudayaan tradisional yang
tidak menjanjikan apa-apa. Tari topeng tak lagi menarik bahkan diacuhkan yang
lebih melirik gangnam style dan tari
striptis yang mengairahkan birahi. Orang-orang lebih memilih makanan berkeju,
mayones dan berPPN dari pada nasi jamblang yang bergaram. Agar image orang modern tetap terjaga di
mata orang lain. Kini masyarakat sudah sadar akan cinta terhadap batik setelah
PBB menetapkannya sebagai warisan bangsa Indonesia. Karena sangat cintanya
terhadap batik, kampanye dengan memakai kaos “I LOVE BATIK” digandrungi
masyarakat. Melupakan kain batiknya sendiri yang hanya digunakan pada saat
kondangan dan khitanan saja.
Apakah
ini kemajuan dengan alasan modernitas yang membersihkan barang-barang lapuk
dimakan zaman. Sesuatu yang lama itu harus cepat dibuang dan diganti dengan
yang baru. Agar kita tidak ketinggalan dan mengikuti perubahan zaman. Dipaksa
menjadi pengikut dan diseret-seret akan perubahan yang sebenarnya tidak
mengerti perubahan yang diubah oleh siapa dan untuk apa. Taklid buta yang
sedang diajarkan di kota saya, tidak diajarkan sebagai seorang kreator yang
membuat perubahan. Kalau memang sudah begini, wisata budaya hanyalah
puing-puing sampah yang dirawat dan menarik untuk objek pengambilan fotografer.
Begitu
kayanya kota ini akan warisan budaya. Jika kota lain hanya punya satu keraton,
kota Cirebon punya empat keraton yang saling berdampingan. Punya juga tugu yang
kokoh dengan cat yang mulai memudar sebagai saksi bisu kemerdekaan yang
eluh-eluhkan di kota ini. Tari topeng dengan 5 tokoh khas menjadi penyambut
kegemulaian liak-liuk penari yang
begitu menghayati akan ketransedenan. Situs gua sunyaragi yang masih gagah
berdiri dengan kuat dengan kegarangan batu karangnya dari kurangnya perhatian.
Kesakralan akan tokoh Sunan Gunung jati menjadi ikon religi dari wajah kota
ini. Motif batik yang penuh dengan nilai filosofi masih tetap dituliskan dengan
canting secara telaten dengan warna yang sedikit memudar. Makanan khas masih
tetap di masak dan dijajakan walaupun
berhadapan dengan restoran-restoran mewah dengan gaya luar negeri.
4. Epilog
Untuk
memahami budaya memang tidak mudah dari jejak yang ditinggalkan hanya sisa-sisa
puing tak utuh. Hanya dapat menerka-nerka asal-usul sejarahnya. Menelantarkan
budaya tak utuh bukanlah sikap yang arif, bagaimana cara kita untuk menjaga dan
merawat sisa yang ada agar tidak menjadi penggalan cerita sejarah. Sapaan
modernitas di tengah masyarakat sangatlah menggoda seperti perempuan berpakaian
sexy nan montok melambai memanggil kita untuk mendekat dan menyuruh melepaskan
baju kita. Memang tidak ada yang salah untuk memilih hal modernitas karena kita
tahu kebebasan untuk memilih adalah hak individu. Mempersilahkan individu untuk
memilih budaya modern yang menggilas budaya tradisional atau merawat budaya
tradisional yang gagah dalam menatap modernitas.
Pertanyaan-pertanyaan
yang saya cari jawabanya untuk menuliskan diselembar kertas mengenai kota
Cirebon. Budaya bukanlah hasil dari manusia namun proses yang terus menerus
tanpa henti. Saya mulai menuliskan apa yang ditangkap mengenai kota ini secara
bebas tanpa intervensi dan dominasi dari manapun. Agar saya bercerita dengan
jujur apa yang ada dan sedang terjadi di Cirebon untuk dikabarkan keluar sana.
Karya merupakan proses dari budaya yang harus dilakukan untuk setidaknya
penyambung lidah dimasa akan datang dari manuskrip yang sudah hilang dari
lemari-lemari di jual keluar negeri. Kota Cirebon tak perlu diketahui secara
utuh dan lengkap karena menguras energi dari mandegnya karya. Karena ketika
tahu kita akan nyaman atau malah kecewa dengan kota ini. Sebaliknya kita menilik
sebentar dan berkarya untuk membuat sejarah baru yang berkisambungan. Kertas
kosong bersih pun harus digoreskan dengan pena dari tangan kita.